Hai sobat jalan-jalan, setelah jalan-jalan ke berbagai tempat rasanya sangat capek. Kali ini kita akan memberikan informasi mengenai kesenian gembrungan. Saya baru tahu kalau di Madiun itu juga ada kesenian musik selain dongkrek. Mungkin kalian juga ada yang baru sekarang tahu tentang kesenian satu ini. Nama kesenian ini adalah Gembrungan. Mungkin nama Gembrungan masih awam ditelinga kalian. Padahal Kesenian Gembrungan ini merupakan salah satu kesenian musik tua yang pernah berkembang di Madiun dan sekitarnya. Sampai saat ini, bahkan di desa-desa masih mementaskan kesenian Gembrungan.
Menurut berbagai sumber, kesenian gembrungan ini merupakan kesenian yang berkembang di Jawa Timur, Jawa Tengah dan Jawa Barat. Kesenian Gembrungan ini memadukan unsur musik, syair shalawat, serta berpadu dengan tabuhan terbang, timplung, kendang dan terkadang di selingi tepuk tangan. Ada sebagian masyarakat menyebutkan kesenian gembrungan ini dengan shalawat gembrung. Sebenarnya jika dilihat kesenian gembrungan ini sama saja dengan kesenian hadrah atau terbangan sekarang, yang membedakan dan tampak jelas adalah adanya tabuhan terbangan yang ukurannya sangat besar berdiameter kurang lebih 120 cm. Gembrung terdiri dari sejumlah musik perkusi yang dimainkan oleh setidaknya delapan orang penerbang (pemain musik dan dhalang) yang mengiringi tujuh hingga dua belas penjawab syair.
Penemu Kesenian Gembrungan atau Shalawat Gembrung tidak banyak yang tahu dan kami pun juga tidak tahu. Katanya sih kesenian gembrungan ini mulai ada dan berkembang pada jaman wali songo (Sunan Bonang atau Sunan Kalijaga) atau sekitar abad ke 14 – 15 Masehi. Sekarang ini sesepuh yang mengetahui seluk-beluk gembrung sangat sedikit bahkan sebagian sudah meninggal. Menurut berbagai sumber yang kami baca, naskah yang berisi sejarah gembrung dan nilai-nilai filosofis tentang gembrung pun hanya dimiliki oleh satu/dua orang saja, yang pada dekade terakhir naskah gembrung ditulis kembali dan digandakan melalui foto copy. Pada sebagian paguyuban gembrung naskahnya masih berupa huruf Arab tulisan tangan (manuskrip).
Pertunjukan kesenian atau shalawat gembrung ini biasanya ditampilkan dalam acara hari-hari besar maulidan, rejeban dan muharram, bakan shalawat gembrungan ini bisanya ditampilkan pada saat peringatan kelahiran bayi, atau pada umumnya ketika bayi berumur 7 bulan. Sebelum melakukan pementasan shalawat gembrung tidak ada prosesi khusus yang dilakukan, tidak seperti seni reog atau kesenian lain yang harus mengadakan ritual-ritual tertentu. Beberapa hal yang harus dimiliki para pemain gembrung adalah tekun berlatih, ketulusan hati dan kebersihan batin. Karena jaman dulu pementasan shalawat gembrung ini dilakukan dari jam 9 malam sampai jam 3 dini hari dimana semua pemainnya harus memiliki ke ikhlasan hati dan stamina yang kuat untuk menabuh alat musik gembrung. Semua penabuh terbang (penerbang), penabuh kendang, penabuh timplung, dan pelantun tembang tidak harus diberi ijazah oleh sesepuhnya.
Syair-syair yang terkandung dalam nyanyian shalawat gembrung syarat dengan nilai-nilai agama dan penuh dengan pesan moral. Selain itu, juga terdapat pujian-pujian yang mengagungkan Allah SWT. Dalam syair-syairnya mengandung ajaran tasawuf tentang etika moral, sebagaimana manusia harus berperilaku baik dengan sesamanya dan Allah SWT. Masalah syariat juga disebut-sebut dalam syair yang dilantunkan shalawat gembrungan. Syariat sebagai aturan yang ditetapkan Allah SWT untuk hamba-Nya dan yang menginginkan hidupnya selamat di dunia dan akhirat harus menjalankan syariat yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Pada masa nenek moyang naskah syair gembrungan yang dulu berbahasa Arab mulai disusun dengan bahasa Jawa. Ada 40 lagu yang masing-masing lagu dibagi dalam 15 syair masing-masing dibagi dalam 3 bait sya’ir, dalam perkembangannya mulai tahun 1986 naskah syair yang berbahasa Jawa ini mulai diringkas kembali menjadi 18 jenis lagu dibagi menjadi 5 syair yang masing-masing terdiri dari 3 bait syair. Perubahan ini tidak lain juga depengaruhi kemampuan dan kekuatan para anggota gembrungan. Syair yang biasanya dilantunkan adalah shalawat al-barjanji, shalawat khataman nabi SAW dandang gula, kinanti, sinom dan asmarandan, dan ada pula yang yang lainnya seperti pepiling.
Sayangnya, sekarang ini dengan munculnya banyak rekaman lagu-lagu religi, kesenian shalawat gembrung ini mulai tersisih. Selain itu, munculnya alat musik modern yang lebih praktis dan efisien saat ini juga menambah terpinggirkannya kesenian gembrungan. Namun, di beberapa desa seperti desa botan dan desa geger, warga masyarakat masih aktif mementaskan seni gembrungan ini meski dengan anggota yang terbilang sudah berumur semua. Tentunya perlu adanya regenerasi untuk melestarikan tradisi kesenian gembrungan ini agar tetap bertahan ditengah arus modernitas kesenian khususnya seni musik. Begitulah sedikit pengetahuan mengenai kesenian gembrungan atau shalawat gembrung. Jika kalian tertarik atau ingin lebih tau terkait dengan kesenian gembrungan datang saja ke desa-desa di atas untuk bertanya dan mendapat ilmu kesenian gembrungan.
Terima kasih kepada Mas Robith Saifunnawa yang mengizinkan hasil penelitiannya sebagai rujukan pada tulisan kali ini
Belum ada tanggapan untuk "Gembrungan: Kesenian Khas Madiun"
Posting Komentar